Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang
Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan
berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda
(sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan
pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam
perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang
ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di
pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir
perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo
sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa
di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro
secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa,
sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem)
menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.
Pemerintahan Daendels dan Raffles
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai
semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5
Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai
basis pertahanan Perancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh
Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara lain yang
menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak
Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan
manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer
dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah
mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya
pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo
(1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang
serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya
perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan
Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford
Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan
Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan
Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra
sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama
Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa
kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) dibawah Gubernur Jenderal
Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III
wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu
Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I (Patih
Danuredjo) bertindak sebagai wali.
Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal
pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti
Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat
kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih
berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku
Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi
keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana II
meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan
sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton
yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh
Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati
masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa
tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk
di atas tahta.
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821
yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah
oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman, van der Capellen
mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang
Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan
Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah
milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada
Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu. Smissaert berhasil menipu kedua
wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas
perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan
keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng
(ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober
1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk
membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran
Diponegoro membulatkan tekat untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan
pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Mulainya perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk
memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan
yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati
pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang
dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru
mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani
penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan
Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran
Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan
perang.
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua
bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun
kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya
berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro
beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di
Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya
tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak
di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran
menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat
pertapaan dia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia
menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa
Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang
berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari
kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan
barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat
"Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala
sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran
bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para
bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun
hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja
yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini
Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan
perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang
saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di
istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping
kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana. Infiltrasi pihak
Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di
lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin
hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot
dalam beragama.
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry
menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan sorban
yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan
Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun
perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan
bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia
masuk Islam.
Jalan peperangan
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan
infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan
sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa.
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat
dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah
direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur
logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan
perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar
jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang
berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai
kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi
berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan
pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama
dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan
tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh
yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut
nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan
mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota
keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah
komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan
tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari
23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa
timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang
modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya
(guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau
perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang
saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik
perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta
provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam
pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak
saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan
lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap
Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot
Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan
Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak
8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10]
Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro
dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk
ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan
Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro
kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar